Sejarah Bank Indonesia 5 Periode(Perbankan)

Periode 1953-1959
   Saat kembali menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) pada 17 Agustus 1950, struktur perekonomian Indonesia, masih didominasi oleh struktur kolonial. Meskipun saat itu struktur perbankan Indonesia boleh dikatakan merupakan komponen sarana moneter yang tidak banyak berperan dalam operasi perbankan, tetapi kondisi semacam ini menimbulkan keinginan kuat masyarakat untuk memasukkan lebih banyak unsur nasional dalams truktur ekonomi Indonesia. Bank Indonesia lahir setelah berlakunya Undang-Undang (UU) Pokok Bank Indonesia pada 1 Juli 1953.









Periode 1959-1966
  Pada periode ini, pemerintah menghentikan untuk sementara perijinan bagi pendirian bank umum dan bank tabungan swasta akibat adanya peninjauan kembali jumlah bank swasta serta adanya gejala persaingan tidak sehat antar bank. Kemudian dengan Perpu No. 23/1960, pemerintah memberikan kepastian hukum bagi masyarakat dalam menjamin kerahasiaan atas simpanan dan berbagai jenis hubungan transaksi mereka dengan bank. Hal itu ditempuh untuk mengantisipasi kurangnya minat masyarakat untuk menyimpan dananya kepada perbankan. Padahal, pengumpulan dana dari masyarakat dibutuhkan guna disalurkan kepada sektor-sektor produktif dalam pembangunan ekonomi.
     Dalam kaitannya dengan penyelesaian proses nasionalisasi, sering terjadi perubahan pada bank-bank pemerintah. Perubahan tersebut terjadi dalam bentuk peleburan antarbank, seperti BRI dan Bank Tani dan Nelayan ke dalam Bank Koperasi, Tani dan Nelayan (BKTN), kemudian NHM ke dalam BKTN, atau antara Bapindo dan Bank Industri Negara (BIN). Juga terjadi perubahan nama, seperti Bank Tabungan Pos menjadi Bank Tabungan Negara. Pada 1964, dilaksanakan Musyawarah Bank Berjuang Sabang-Merauke untuk memposisikan perbankan dalam mendukung pelaksanaan Pembangunan Nasional Semesta Berencana. Tindak lanjut dari musyawarah tersebut adalah proses integrasi antara Bank Indonesia dengan bank pemerintah dalam bank tunggal. Maksud pembentukan bank tunggal adalah agar kebijakan pemerintah di bidang moneter dan perbankan dapat dijalankan secara efisien, efektif, dan terpimpin. Pada 17 Agustus 1965, bank tunggal didirikan. Sejak saat itu, Indonesia hanya mempunyai tiga bank pemerintah, yaitu Bank Negara Indonesia (bank tunggal), Bank Dagang Negara, dan Bank Pembangunan Indonesia, akan tetapi secara operasional di samping BNI Unit I sebagai bank sentral, masih terdapat 6 bank pemerintah yang berjalan sesuai dengan fungsi masing-masing (BNI Unit II (BKTN), BNI Unit III (BNI), BNI Unit IV (BUNEG), BNI Unit V (BTN), BDN, dan Bapindo).

Periode 1966-1983
       Sistem Ekonomi Terpimpin terhenti pasca terjadinya peristiwa 30 September 1965 (G 30S/PKI) yang memicu berbagai perubahan politik pada medio 1960-an. Melalui Surat Perintah Sebelas Maret(Supersemar), PKI dibubarkan dan berujung pada jatuhnya Soekarno. Masa orde lama berganti dengan orde baru. Awal langkah orde baru dimulai dengan Kabinet Ampera yang menggantikan Kabinet Dwikora. Tugas pokok Kabinet Ampera adalah melaksanakan program stabilisasi dan rehabilitasi yang berkonsentrasi pada pengendalian inflasi, pencukupan penghidupan pangan, rehabilitasi prasarana ekonomi, peningkatan ekspor, dan pencukupan kebutuhan sandang. Secara umum, pembangunan ekonomi dan pembangunan nasional menjadi prioritas orde baru dalam mengendalikan masa depan bangsa Indonesia. Sementara itu, sistem perbankan dan Bank Indonesia mempunyai peran penting dan strategis dalam mendukung pembangunan ekonomi nasional. Oleh karena itu, penataan kembali perbankan dan Bank Indonesia merupakan prioritas bagi awal pelaksanaan program orde baru.
         Penataan kembali perbankan dilakukan melalui Undang-Undang (UU) No. 14/1967 tentang pokok-pokok perbankan tanggal 30 Desember 1967 dan penataan kembali Bank Indonesia melalui UU No. 13/1968 tentang bank sentral tanggal 7 Desember 1968. Sejak saat itu Bank Tunggal atau Bank Negara Indonesia yang dibentuk pada tahun 1965 dipecah kembali sesuai dengan kedudukan bank seperti sebelumnya. Bank-bank pemerintah pada saat itu terdiri atas bank sentral (Bank Indonesia), Bank Negara Indonesia (BNI) 1946, Bank Bumi Daya (BBD), Bank Tabungan Negara (BTN), Bank Rakyat Indonesia (BRI), Bank Ekspor Impor Indonesia, Bank Dagang Negara (BDN), dan Bank Pembangunan Indonesia (Bapindo) yang sebelumnya tidak tergabung dalam bank tunggal. Pada tahun 1967, menjelang kelahiran UU Perbankan 1967, dilakukan pembentukan Badan Musyawarah Perbankan (BMP) yang membantu pemerintah dalam merumuskan ketentuan tentang tata cara pendirian bank, konsep peraturan kliring baru, dan pendekatan guna penyelesaian permasalahan perdata dalam perbankan.

Periode 1983-1977
    Perekonomian Indonesia masih mengalami pasang-surut, pemerintah melakukan kebijakan deregulasi dan debirokratisasi yang dijalankan secara bertahap pada sektor keuangan dan perekonomian. Bank Indonesia tetap berdasarkan Undang- Undang (UU) No. 13/1968 tentang bank sentral dan beberapa pasal dalam UU No. 14/1967 tentang perbankan. Namun demikian, dalam pelaksanaannya terjadi perubahan fundamental karena segala kebijakan yang dilaksanakan Bank Indonesia (BI) dilakukan berdasarkan kebijakan deregulasi dan debirokratisasi yang dijalankan pemerintah. Salah satu maksud dari kebijakan deregulasi dan debirokratisasi adalah upaya untuk membangun suatu sistem perbankan yang sehat, efisien, dan tangguh. Kondisi perekonomian pada akhir periode 1982/1983 kurang menguntungkan, baik karena faktor eksternal maupun internal. Kemampuan pemerintah untuk menopang dana pembangunan semakin berkurang, untuk itu dilakukan perubahan strategi untuk mendorong peranan swasta agar lebih besar.


           Pada tahun 1988, pemerintah bersama BI melangkah lebih lanjut dalam deregulasi perbankan dengan mengeluarkan Paket Kebijakan Deregulasi Perbankan 1988 (Pakto 88) yang menjadi titik balik dari berbagai kebijakan penertiban perbankan 1971–1972. Pemberian izin usaha bank baru yang telah dihentikan sejak tahun 1971 dibuka kembali oleh Pakto 88. Demikian pula dengan ijin pembukaan kantor cabang atau pendirian BPR menjadi lebih dipermudah dengan persyaratan modal ringan. Suatu kemudahan yang sebelumnya belum pernah dirasakan oleh dunia perbankan. Salah satu ketentuan fundamental dalam Pakto 88 adalah perijinan untuk bank devisa yang hanya mensyaratkan tingkat kesehatan dan aset bank telah mencapai minimal Rp 100 juta. Namun demikian, Pakto 88 juga mempunyai efek samping dalam bentuk penyalahgunaan kebebasan dan kemudahan oleh para pengurus bank. Bersamaan dengan kebijakan Pakto 88, BI secara intensif memulai pengembangan bank-bank sekunder seperti bank pasar, bank desa, dan badan kredit desa. Kemudian bank karya desa diubah menjadi Bank Perkreditan Rakyat (BPR). Tujuan pengembangan BPR tersebut adalah untuk memperluas jangkauan bantuan pembiayaan untuk mendorong peningkatan ekonomi, terutama di daerah pedesaan, di samping untuk modernisasi sistem keuangan pedesaan.

Periode 1997-1999
      Awal Juli 1997, terjadi gejolak nilai tukar. Bersamaan dengan itu, pemerintah melakukan pengetatan likuiditas. Kondisi ini memunculkan krisis kepercayaan masyarakat terhadap perbankan nasional, terutama pasca pencabutan ijin usaha 16 bank pada tanggal 1 November 1997. Hal ini berdampak sangat buruk, terutama memicu terjadinya depresiasi kepercayaan terhadap perbankan. Sebagai manifestasi krisis kepercayaan itu, terjadi penarikan dana secara besarbesaran. Akibatnya, banyak bank yang mengalami kesulitan likuiditas yang sangat parah (mismatch) yang disusul dengan kelangkaan likuiditas perekonomian secara keseluruhan (liquidity crunch). Keadaan semakin diperparah dengan melambungnya suku bunga Pasar Uang Antar Bank (PUAB) hingga mencapai 300% per tahun.
    Untuk mencegah terjadinya pembengkakan saldo debet tersebut, pada akhir Desember 1997, dengan persetujuan Presiden, Bank Indonesia (BI) lewat surat Menteri Sekretaris Negara No. R-183/M.Sesneg/12/1997 tanggal 12 Desember 1997 menempuh kebijakan mengganti saldo debet bank-bank yang mempunyai harapan sehat dengan Surat Berharga Pasar Uang Khusus (SBPUK). Hal ini dilakukan agar pada akhir tahun 1997 tidak ada lagi bank yang terpaksa ditutup dan dinyatakan bangkrut.

            Memasuki bulan Januari 1998, dampak krisis, terutama yang menyangkut sektor perbankan, ternyata semakin meluas. Saldo debet bank-bank di BI terus berlanjut. Untuk mencegah kehancuran sistem perbankan akibat krisis kepercayaan tersebut, pemerintah menempuh program stabilisasi dan reformasi menyeluruh. Langkah ini diambil juga untuk menjaga sistem pembayaran nasional dari kelumpuhan yang berakibat buruk pada seluruh kegiatan perekonomian dan untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat. Pada tanggal 15 Januari 1998, program stabilisasi yang mencakup restrukturisasi sektor keuangan dan sektor riil itu ditandatangi pemerintah
dengan IMF dalam LoI.

            Untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap perbankan, pada tanggal 26 Januari 1998, pemerintah memutuskan untuk menjamin pembayaran seluruh kewajiban bank, baik kepada deposan maupun kreditur lewat program penjaminan (blanket guarantee). Langkah ini diambil dengan Keputusan Presiden No. 26 Tahun 1998 tentang Program Penjaminan BPR, Fasilitas Dana Talangan untuk Pembayaran Kewajiban Luar Negeri Bank dalam Rangka Trade Finance dan Inter Bank Debt Arrears, serta jaminan Pembiayaan Perdagangan Internasional. Keputusan ini juga sebagai tindak lanjut dari Frankfurt Agreement yang ditandatangani oleh pemerintah pada tanggal 4 Juni 1998.

SUMBER
https://www.bi.go.id/id/tentang-bi/museum/sejarah-bi/bi/Pages/sejarahbi_3a.aspx
http://www.uang-kuno.com/2014/09/masa-berlaku-uang.html
http://opac.poliupg.ac.id/?collection_list=&ddc=3&act=collection.list&pgr_automation_collection_page=34


Share:

1 komentar:

  1. thank you atas informasinya, bisa juga mampir ke blog mengenai pinjaman online jika berkenan, terima kasih

    BalasHapus